Jumat, 22 Februari 2013
Memperkenalkan Juwana?
JUWANA
Tak kenal maka tak sayang, begitu ungkapan yang sering kita dengar. Suatau daerah tak akan maju jika penduduknya tak peduli pada pengembangan. Demikian juga daerah tak akan dikenal jika tak dipromosikan. Sebenarnya begitu banyak tugas yang harus di kerjakan jika kita ingin perubahan. Tak hanya partisipasi masyarakat tapi juga harus kerja keras pemerintah.
Juwana sebagai kota Kecamatan, sebenarnya menyimpan banyak peluang untuk lebih maju. Kita tak boleh puas melihat Juwana yang sudah mempunyai nama. Sebutan sebagai daerah penghasil bandeng, daerah penghasil kerajinan kuningan, daerah penghasil batik Bakaran, daerah penghasil ikan dan daerah para pedagang.
Apakah dengan sebutan itu Juwana menjadi baik? Mungkin saja. Jika dilihat dari tingkat ekonomi masyarakatnya, Juwana mungkin lebih makmur dibanding daerah lainnya. Mobilitas penduduknya yang cukup tinggi menjadikan warga Juwana sebagai orang sibuk. Mulai buruh, pedagang, saudagar, majikan, petani, pengrajin bahu membahu untuk bekerja.
Seperti yang terekam di desaku. Selepas anak anak berangkat ke sekolah, sebagian ibu ibu rumah tangga berjalan bergerombol menuju tempat menata ikan. Di sana seharian mereka akan sibuk mempersiapkan pembuatan ikan pindang. Sementara di desa tetangga yang letaknya di sebelah timur desaku (kira kira berjarak setengah kilometer), aktivitas pengrajin kuningan juga tak kalah sibuknya. Di sini mereka membuat bandul (anak timbangan), caci ikat pinggang, pegangan pintu, hiasan lampu, vas bunga hingga aneka kerajinan lainnya. Sementara tetangga desa di sebelah barat, mulai Shubuh mereka sudah berangkat ke tambak tambak untuk memberi makan ikan. Mereka bahkan ada yang berjaga mulai sore dan baru pulang keesokan harinya. Tak ketinggalan tetangga desa sebelah Selatannya lagi. Ibu ibu sudah mempersiapkan canting dan malam untuk membatik motif Dele Kecer.
Pasar Juwana tak kalah gaungnya. Suara riuh para pedagang, tengkulak, pembeli hingga buruh panggul bercampur menjadi satu, menyiratkan suasana pasar yang tidak pernah tidur. Meski hanya di sebuah kota Kecamatan, Pasar Juwana terus beroperasi selama 24 jam non stop. Palawija, beras, Sayuran, buah, daging, telur, silih berganti, turut serta berdesak desakan, mengisi setiap lapak milik pedagang. Truk truk pengangkut, maju mundur membawa beribu kwintal ransum untuk pemenuhan gizi warga Juwana dan sekitarnya.
Belum lagi kesibukan beberapa desa dipinggiran Sungai Silugonggo, yang akan membawa para nelayan untuk melaut. Di TPI Juwana, pelelangan ikan telah memberi harga ikan ikan hasil tangkapan. Pelabuhan Juwana juga menjadi saksi keberangkatan dan kedatangan kapal untuk bersandar.
Namun sayang dari semua gairah itu, kita melihat tata kota Juwana yang terkesan semrawut. Seharusnya sebagai kota kecil yang mempunyai nama besar (nyombong banyak ;D), warga dan pemerintah harus membangun sebuah identitas untuk Juwana. Lihatlah bagaimana kita melihat sudut sudut kota Juwana. Dulu saat masih kecil, daerah di Jalan Sunan Ngerang hingga Jalan Silugonggo nampak bersih dan rapi. Jalan Kemasan, Jalan Pajeksan juga bersih. Hampir tak ada bangunan liar yang menumpang dipinggir pinggir jalan (dodol saenggon-enggon). Tapi sekarang? ....banyak ditemui, Mereka seolah tak membiarkan tanah kosong di pinggir jalan nganggur. Sebenarnya tak ada larangan bagi orang kecil untuk berjualan, tapi kalau keberadaannya membuat kekumuhan dan membuat jalan makin sempit. Seharusnya ada penataan.
Pintu gerbang kota Juwana dari arah Barat dengan identitas Tugu Sukunnya juga tak menarik untuk dilihat. Entah kenapa Tugu Sukun? Kenapa Bukan Tugu Orang Membatik atau Tugu Kapal, yang lebih memperlihatkan pada Ikon Juwana, Taman di Tugu juga biasa dan kotor. Jika musim kemarau keadaanya bertambah gersang. Sampah bertebaran di mana mana bercampur debu. Kita tahu Juwana berada di pesisir pantai yang cuacanya panas. Juwana butuh gerakan menanam pohon untuk membuatnya menjadi teduh.
Terminal Juwana yang dulu menjadi kenangan saat aku naik bus untuk bersekolah di Kota Pati, sekarang sepi dan kurang terawat. Keadaan di sekitar pertokoan juga terkesan semrawut. Jika sudah begini, jadi iri dengan Kota Pati. Kenapa kota Pati bisa mendapat Adipura dengan kebersihannya, tapi mengapa wilayah kecamatannya yang kaya dibiarkan kotor. Kenapa penataan di kota Pati, tidak sekaligus dilaksanakan di wilayah wilayah pendukungnya seperti Juwana.
Juwana dilewati kendaraan yang melintas di jalur Pantura, tak lebih dari lima menit. Jika kita memberi pemandangan yang bersih dan pesona yang indah tentang Juwana, alangkah bagusnya.
Jika hanya mengandalkan masyarakatnya untuk bergerak, tak bakalan semua terlaksana. Kebanyakan orang akan memilih memenuhi kebutuhan hidup daripada bersusah susah menerapkan aturan. Di sinilah seharusnya pemerintah daerah aktif menggerakkan masyarakatnya dengan pendekatan. Sekarang semua masyarakat di Indonesia merindukan kepemimpinan ala Pak Jokowi. Semoga semua pejabat mau berkomitmen seperti beliau.
Seperti daerah lainnya, kita juga ingin Juwana menjadi kota kecil yang indah dan nyaman. Kita ingin Juwana yang tertata. Kita ingin Juwana punya hutan kota, meski hanya pohon beringin yang tumbuh di sana. Kita ingin Juwana punya taman indah meski melati dan bougenvil yang memberi warna. Kita ingin Juwana punya kebun buah, meski hanya jenis mangga yang kita petik nantinya. Kita ingin Juwana punya tempat rekreasi untuk warganya, meski hanya air mancur yang jadi hiasannya. Pokoknya Kita ingin Juwana punya.....
Seharusnya warga Juwana berhak mendapat fasilitas itu semua. Jika fasilitas-fasilitas yang tersebut di atas dapat direalisasikan, tentu akan diikuti oleh perkembangan positif. Selain meningkatkan pendapatan juga meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar.
Jika harapan harapan kecil itu terwujud, maka Juwana mungkin akan lebih di kenal. Kita sudah mempunyai karakter diri dan potensi. Tinggal melanjutkan dengan seribu kreatifitas. Banyak sudah orang Juwana yang mengenyam pendidikan tinggi dan berhasil. Mereka sudah berpindah dan menyebar di mana mana. Tapi Juwana tak harus menunggu mereka kembali, untuk merubah wajah kotanya, karena sampai kapanpun Juwana masih mempunyai aset penduduk yang bisa membangun kotanya menjadi lebih baik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kota kecil yang nyaman biarpun polusi udara dimana-mana......
BalasHapusSangat mengharukan, ada orang yang peduli juana untuk lebih baik....Sabar-sabar kalau sudah saatnya pasti ada yang peduli....
BalasHapusBerapa tahun Jakarta...menunggu Joko Wi...he..he..
,,saya juga salah satu orang yang sangat peduli dengan kota kecamatan juwana,,,,kota yang terkenal di jaman kolonial sebagai bandar yang ramai, tempatnya saudagar2 kaya di jaman kolonial dulu, serta kerajinan kuningannya,,kota yang pernah menjadi ibukota kabupaten juwana di jaman dulu,,,,
BalasHapustetapi sekarang juwana seakan dilupakan saja, tata kotanya yang seadanya saja,,,trotoar yang kotor dan digunakan untuk jualan, jalanan yang kotor,,hemmmm
saya ingin melihat juwana lebih teratur, bersih, indah meskipun juwana hanyalah kota kecamatan kecil....
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKota Juwana itu potensinya besar sekali. Nama Juwana juga sudah terkenal (bahkan lebih terkenal dari Pati sendiri). Nyumbang pendapatan daerah besar juga kan untuk kabupaten. Dulu juga pernah diusulkan jadi kota administratif juga meskipun batal.
BalasHapusTapi entah kenapa, pemerintah sekarang kok kurang peduli dengan Juwana, kotanya semrawut dan kotor ya dibiarkan saja. Perempatan2 rame ya nggak diberi bangjo, Jl. Sudirman udah semrawut gitu ya nggak segera dibangunkan jalan lingkar. Miris kalo lewat jalan Sudirman, yg lewat truk2 besar semua. Coba kalo Juwana ditata, dibuatkan taman (kecil juga gakpapa)dan jalan2 dalam kota dikasih trotoar semua pasti lebih bagus lagi kotanya.
Entah kapan pemerintah akan menata kota Juwana. Atau harus Juwana lepas dari Pati dan membentuk kota sendiri biar Juwana bisa tertata?